ANDA MAU BERUBAH ???

MULAILAIH DARI DIRI SENDIRI, MULAI DARI HAL TERKECIL, MULAI DARI SEKARANG

BID’AH (Kajian singkat untuk meluruskan hal Bid’ah)

Diposting oleh Syarif HD Kamis, 19 Maret 2009
BID’AH
(Kajian singkat untuk meluruskan hal Bid’ah)

I. PENDAHULUAN
Kembali akhir-akhir ini masyarakat Islam dibuat bingung oleh segelintir orang yang suka usil mendatangi rumah serta mempengaruhi masyarakat muslim level bawah yang SDM (Sumber Daya Manusia)-nya lemah. Mereka selalu mengganggu serta mengusik pemahaman-pemahaman masyarakat muslim yang sudah terbiasa dengan berbagai ritus keagamaan seperti tahlilan, Yasiinan, baca Barzanji, memakai tasbih, talqin mayit, dan itu diktakan BID”AH serta HARAM dan masuk NERAKA.
Maka dengan dasar dan alasan itulah perlu kiranya, hal tersebut diluruskan kembali serta dikoreksi kembali oleh masyarakat muslim tidak mudah dipengaruhi serta dijerumuskan oleh kelompok Islam “tertentu” (yang mengaku paling benar dan suci).
Mudah mudahan risalah ini dapat menambah ilmu dan keyakinan bahwa apa yang kita kerjakan selama ini benar-benar haq (tidak menyimpang) berdasarkan Al-qur’an Al-hadist dan kita dapat terhindar dari rayuan orang-orang yang menyesatkan kita dari golongan ahlu sunnah wal jama’ah. Amiin.

II. BID’AH ANTARA SESAT DAN TIDAK
Bid’ah dalam arti bahasanya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya. Firman ﷲ surat Al-Baqarah ayat 117 :


Artinya : “ﷲ yang menciptakan langit dan bumi”.
Bid’ah dalam hukum Islam adalah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama yang tidak ada pada zaman nabi Muhammad s.a.w.
Timbul suatu pertanyaan :
Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama yang tidak ada pada jaman Nabi Muhammad s.a.w. pasti sesat/jelek ? Jawaban yang benar belum tentu. Ada dua kemungkinan, mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek ?
Menurut Imam Syafe’I :




Artinya : Bid’ah ada dua. Bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela.
Sayyidina Umar ibnul Khatab, setelah mengadakan sholat Tarawih dengan berjama’ah dengan 20 rokaat yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :


Artinya : “Sebagus bid’ah itu ialah ini”.
Bolehkan kita mengadakan bid’ah ?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita kembali kepada hadist Nabi Muhammad s.a.w. yang menjelaskan adanya bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (sesat).






Artinya : “Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengadakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”.

Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah it sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka ? seperti bunyi hadist ini :


Artinya : “Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan masuk neraka”.
Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah, bukan hanya materi hadist itu saja. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat. Sifat ini bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek, kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama si A dikatakan duduk.
Mari kita kembali kepada hadist :


Artinya : “Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan masuk neraka”
Bid’ah itu kata benda tentu mempunyai sifat, tidak mungkin tidak mempunyai sifat. Mungkin bersifat baik mungkin juga bersifat jelek. Sifat tersebut tidak dituliskan atau diucapkan dalam hadist tadi, dalam Ilmu Balaghah dikatakan :


Artinya : “Membuang sifat dan benda yang bersifat”.
Seandainya hadist tersebut berbunyi (dalam dua kemungkinan):
Kemungkinan pertama :


Artinya : “Semua bid’ah yang baik sesat dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal ini tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan adalah kemungkinan yang kedua:


Artinya : “Semua bid’ah yang jelek itu sesat dan semua yang sesat masuk neraka”.
Maka sifat jelek dan sesat itu paralel tidak bertentangan. Hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, ﷲ telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya surat al-Kahfi ayat 79 :


Artinya : “Dibelakang mereka ada Raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”.
Dalam ayat ﷲ tersebut tidak menyebutkan kapal baik ataukah kapal jelek karena sudah dipastikan kapal jelek tidak mungkin diambil oleh Raja. Maka lafadz ( ) sama dengan lafadz ( ) yang tidak disebutkan sifatnya.

III. KESIMPULAN
Jadi apabila kita melihat suatu perbuatan ditengah masyarakat, kita tidak bisa dengan secepat mungkin berkata SESAT, HALAL, atau HARAM. Tapi kita harus teliti dalam menentukan hukum :
Pertama : Kita lihat apakah perbuatan tersebut ada perintahnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadist).
Kedua : Apabila perbuatan tersebut tidak ada perintahnya dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah. Kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut.
Ketiga : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada kebaikannya terhadap agama.
Keempat : Kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya (kebaikannya) bagi agama. Kita tinjau kembali apakah perbuatan tersebut ada madhorotnya (kerugiannya/ketidakbaikannya) terhadap agama.

Setelah tahap-tahap tersebut diatas baru kita dapat menentukan hukum :
1. Apabila ada perintahnya dari Al-Qur’an atau As-Sunnah, maka hukumnya tidak lepas dari WAJIB atau SUNNAH.
2. Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak lepas dari HARAM atau MAKRUH.
3. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada tetapi mengandung maslahat (kebaikan) bagi agama, maka hukumnya SUNNAH (baik).
4. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa madharat (kejelekan) terhadap agama, maka hukumnya HARAM.
5. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan madlarat, maka hukumnya MUBAH.

Contoh : Membaca Yaasin Malam Minggu
Perintah membaca Yaasin malam Minggu tidak ada, juga larangan membaca Yaasin malam Minggu tidak ada. Karena mereka dapat berkumpulnya hanya malam Minggu, maka mereka membaca Yaasin malam Minggu. Karena bahayanya membaca Yaasin malam Minggu tidak ada sedangkan manfaatnya jelas, mengikat ukhuwah Islamiyyah dan dzikir kepada ﷲ maka hukumnya SUNNAH dalam Ilmu Fiqih.


Contoh : Memukul beduq di Masjid tanda masuk waktu sholat
Perintah serta larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, sementara alat yang digunakan untuk memberi tahu masuk waktu sholat adalah BEDUG atau KENTONGAN atau SPEAKER. Karena bahayanya tidak ada sedangkan manfaatnya jelas, maka hukumnya SUNNAH (baik).

Jadi jelas sekarang bagi kita semua bahwa tidak setiap BID”AH itu SESAT. Dan kalaupun masih ada golongan yang selalu memfatwakan BID”AH itu SESAT dan SESAT masuk NERAKA, bagi kita dari golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah hal tersebut tidak perlu kita tanggapi dan kalau perlu tidak usah diajak bicara.

Demikian, semoga ﷲ melimpahkan Taufiq dan Hidayah, sehingga kita selalu dalam keridlaan-Nya. Dan ﷲ menyelematkan kita dari berbagai tipu muslihat golongan Islam sempalan yang akan menyesatkan kita dunia akherat. Amiin.


JAWABAN TUNTAS QADLA DAN QADAR


1. Pembahasan tentang Qadar (Taqdir) berbeda dengan pembahasan tentang Qadla dan Qadar. Pembahasan tentang Qadar berkaitan dengan sifat dan perbuatan Allah (shifatullah wa af’aalihi). Sedang pembahasan Qadla dan Qadar berkaitan dengan perbuatan manusia dan karakteristik benda-benda (af’aalul ‘ibad wa khashiyaatul asyyaa’).
2. Point 1 di atas, disimpulkan setelah dilakukan pengkajian baik terhadap lafazh dan makna Qadla maupun Qadar dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits. Lafazh Qadla serta Qadar -- yang terdapat secara terpisah -- dalam Al-Qur’an maupun hadits, beserta makna lughawy maupun syar’iy yang melekat pada kedua lafazh tersebut, sesungguhnya tidak berkaitan dengan pembahasan Qadla dan Qadar – sebagai satu kesatuan istilah yang memiliki pengertian tertentu – yang dilakukan oleh para ahli ilmu kalam (mutakallimin), baik dari Mu’tazillah, Jabariyah maupun Ahlus Sunnah. (Taqiyuddin An-Nabhany Asy Syakhshiyyah Al Islamiyah, Jilid I hal. 59 – 64, dan juga lihat lampirannya).
3. Pembahasan iman terhadap Qadar :
Qadar menurut istilah, adalah taqdir (ketetapan) Allah terhadap segala sesuatu dalam (jaman) azali, artinya, bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu yang kan terjadi baik pada benda-benda maupun manusia sebelum Allah menciptakannya. (Muhammad Husain Abdullah, Diraasaat fi Al Fikri Al Islami, hal. 37).
Inilah Qadar yang harus kita imani sebagaimana yang terdapat dalam hadits shahih :


“ Dan kamu beriman terhadap qadar, baik maupun buruk “.

4. Munculnya pembahasan iman terhadap Qadla dan Qadar :
Adapun pembahasan Qadla dan Qadar – sebagai satu kesatuan istilah yang memiliki pengertian tertentu – adalah pembahasan yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan karakteristik benda-benda. Pembahasan Qadla berkaitan dengan perbuatan manusia. Sedang pembahasan Qadar berkaitan dengan karakteristik benda-benda. Pembahasan Qadla dan Qadar berkaitan adalah pembahasan yang baru muncul setelah abad I Hijriyah berakhir dan setelah diterjemahkannya filsafat Yunani serta munculnya para ahli ilmu kalam. Ini dapat disimpulkan dari kajian terhadap nash-nash syara’ dan bahasa, perkataan para sahabat, tabi’in dan para ulama sesudah mereka, bahwa dua kata tersebut -- Qadla dan Qadar – tidak pernah digunakan secara bersamaan dalam satu kesatuan istilah yang memiliki pengertian tertentu. Penggunaan kedua kata tersebut secara bersamaan sebagai satu kesatuan istilah yang memiliki pengertian tertentu, baru terwujud setelah munculnya para ahli ilmu kalam (mutakallimin), khususnya golongan Mu’tazilah, setelah berakhirnya abad I H. Dalam pembahasan Qadla dan Qadar ini, para ahli ilmu kalam terbagi dalam tiga pendapat, yakni pendapat golongan Mu’tazilah, Jabariyah dan Ahlus Sunnah.
5. Pendapat para ahli ilmu kalam dalam Qadla dan Qadar :
Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Dia dihisab karena dia sendirilah yang menciptakan perbuatan-perbuatan tersebut. Jabariyah berpendapat bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia dan menciptakan perbuatan-perbuatannya. Oleh karena itu, manusia “dipaksa” dalam perbuatannya dan tidak mempunyai pilihan. Manusia ibarat daun di udara yang diterbangkan angin kemana saja angin bertiup. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa manusia mempunyai hak untuk memilih (kasb ikhtiyari) terhadap perbuatannya dan manusia akan dihisab berdasarkan hak pilihnya itu. (Taqiyyuddin An Nabhany, Nizham Al-Islam, hal. 13).
6. Dasar Pembahasan Qadla dan Qadar
Untuk dapat mensikapi berbagai pendapat diatas, hendaknya terlebih dahulu dipahami dasar pembahasan yang menjadi landasan pembahasan Qadla dan Qadar. Orang yang mendalami pembahasan Qadla dan Qadar, akan mendapatkan bahwa dasar pembahasannya bukanlah hal-hal berikut :
1) Penciptaan perbuatan manusia, yakni apakah perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri ataukah oleh Allah.
2) Ilmu Allah, yakni bahwa Allah mengetahui bahwa seseorang manusia akan melakukan suatu perbuatan tertentu dan ilmu-Nya meliputi perbuatan manusia tersebut.
3) Kehendak Allah (‘Iradatullah), yakni bahwa kehendak-Nya terikat dengan perbuatan manusia dan bahwa perbuatan manusia akan terwujud dengan adanya kehendak-Nya itu.
4) Apa yang tertulis dalam Al-Lauhul Mahfuzh, yakni bahwa manusia tidak tidak boleh tidak akan melakukan suatu perbuatan sesuai dengan apa yang telah tertulis dalam Al-Lauhul Mahfuzh.
Memang bukan keempat hal diatas yang menjasi dasar pembahasan Qadla dan Qadar, sebab semua hal diatas tidak berkaitan dengan pahala dan siksa (ats-tsawab wal ‘iqaab).
Oleh karena itu, dasar pembahasan Qadla dan Qadar bukanlah hal-hal diatas, akan tetapi dasarnya adalah: Apakah manusia memiliki pilihan (ikhtiyar) dalam perbuatannya atau tidak ?. Inilah dasar sebenarnya dalam pembahasan Qadla dan Qadar, sebab dasar inilah yang berkaitan dengan pahala dan siksa.
Untuk mengetahui apakah manusia memiliki pilihan dalam perbuatan atau tidak, harus dipahami terlebih dahulu kenyataan macam-macam perbuatan manusia.
7. Macam-macam Perbuatan Manusia dan Kaitannya dengan Qadla dan Qadar :
Apabila dikaji secara mendalam, akan nampak bahwa perbuatan manusia ternyata ada dua macam :
1) Perbuatan-perbuatan dimana manusia memiliki pilihan (mukhayyar). Manusia berjalan, makan, melakukan perjalanan, dan seterusnya kapan saja dia menginginkannya. Jadi disini manusia mempunyai pilihan (mukhtaar). Oleh karena itu, manusia akan dihisab dan ditanyai mengenai perbuatan-perbuatannya ini. Dan manusia akan mendapatkan pahala dan siksa pada Hari Kiamat sehubungan dengan perbuatan-perbuatannya ini. Perbuatan-perbuatan manusia yang seperti ini tidak termasuk dalam pembahasan Qadla dan Qadar.
2) Perbuatan-perbuatan dimana manusia tidak memiliki pilihan (mujbar). Ini terbagi lagi menjadi dua jenis perbuatan :
a. Jenis perbuatan yang diharuskan oleh nizham al-wujud (sunnatullah/hukum alam), seperti bentuk tubuh manusia, warna kulitnya, manusia tidak dapat terbang dengan tubuhnya semata, manusia dapat berjalan diatas air, dan lain-lain.
b. Jenis perbuatan yang tidak diharuskan oleh nizham al-wujud, dan manusia tidak mampu menghindarinya, seperti orang yang terjatuh dari bangunan yang tinggi lalu menimpa seseorang, atau orang yang bermaksud menembak burung tetapi yang terkena ternyata manusia, atau kecelakaan pesawat terbang atau mobil dimana manusia tidak mungkin lagi menghindarinya, dan lain-lain.
Kedua jenis perbuatan ini (point (2) baik (a) maupun (b)) terjadi dari manusia atau menimpa manusia secara “paksa” (manusia tidak punya pilihan). Inilah yang disebut dengan Qadla (keputusan) sebab Allah sematalah yang telah memutuskannya. Manusia tak akan dihisab terhadap pernuatan-perbuatan ini, bagaimanapun manfaat atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut, dan bagaimanapun rasa suka dan tidak suka manusia terhadap perbuatan tersebut.
Dan manusia wajib beriman terhadap Qadla ini, bahwa Qadla adalah berasal dari Allah, apakah berupa qadla yang baik maupun qadla yang buruk.
Berdasarkan ini, maka yang dimaksud dengan Qadla adalah perbuatan-perbuatan yang terjadi dari manusia atau yang menimpanya secara paksa dan manusia tidak mampu menghindarinya. Dalam hal ini manusia tidak mempunyai pilihan dalam perbuatannya (mujbar). (Muhammad Husain Abdullah, Diraasaat fi Al-Fikri Al-Islami, hal. 40).
Adapun Qadar, yakni kata kedua yang telah menjadi satu dalam istilah Qadla dan Qadar, adalah karakteristik-karakteristik pada benda-benda (khasiyaatul asyaa’), seperti karakteristik membakar pada api, atau karakteristik terbakar pada manusia dan kayu, karakteristik memotong pada pisau, karakteristik menabrak/menggilas pada mobil dan kereta api, dan lain-lain. Selain pada benda-benda, berbagai karakteristik juga terdapat dalam naluri manusia (gharaiz) dan kebutuhan jasmani manusia (haajaatul udlwiyyah).
Karakteristik-karakteristik semacam itulah yang disebut dengan Qadar (Ketetapan), yang berasal dari Allah yang telah menetapkannya pada benda-benda maupun pada naluri dan kebutuhan jasmani manusia.
Karakteristik-karakteristik tersebut tidak akan mampu dilenyapkan atau diganti oleh manusia, akan tetapi manusia mampu menggunakannya sesuai dengan perintah dan larangan-Nya sehingga perbuatannya adalah baik, atau, menggunakannya dengan menyalahi perintah dan larangan-Nya sehingga perbuatannya adalah buruk. Karakteristik memotong pada pisau yang telah ditetapkan oleh Allah dapat digunakan oleh seorang muslim untuk membunuh kafir harbi (seperti orang-orang Israel sekarang) dan perbuatan ini adalah baik dan dia akan mendapat pahala. Tetapi kalau karakteristik digunakan untuk membunuh seorang muslim –yang tidak dibenarkan syara’—maka perbuatan ini adalah buruk dan dia kan mendapat siksa.
Walhasil, Qadla dan Qadar yang harus diimani mempunyai pengertian : Perbuatan-perbuatan yang terjadi dari manusia atau yang menimpanya secara paksa (manusia tak punya pilihan/Qadla), dan karakteristik-karakteristik yang ada pada benda-benda (dan pada naluri serta kebutuhan manusia/Qadar). (Muhammad Husain Abdullah, Diraasaat Fi Al-Fikri Al-Islami, hal. 41). Dan perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa Qadar dam istilah Qadla dan Qadar ini bukanlah Qadar yang memiliki pengertian taqdir Allah pada segala sesuatu pada jaman azali.



Maraaji’ :

1. Muhammad Husain Abdullah, Diraasaat Fi Al-Fikri Al-Islami.
2. Taqiyyuddin An Nabhany, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Jilid I.
3. Taqiyyuddin An Nabhany, Nizham Al-Islam.


catatan : Lampiran berasal dari kitab Diraasaat fi Al-Fikri Al-Islam, hal. 38-41, bab Iman terhadap Qadar.

Followers

Subscribe

4